An ethic of care, etika merawat!
By Farsijana Adeney-Risakotta
Menulis tentang nama nenek yang saya pikul mendorong saya merenungkan tentang makna merawat. Nenek saya seorang perawat. Ia seorang anak tunggal yang mengikuti pendidikan keperawatan di Bandung. Sesudah lulus, ia bekerja di rumah sakit Belanda di Serui Papua. Di sana, nenek Jacoba yang dipanggil dengan nama Cootje, sebagai nama yang diturunkan ke saya, menikah dengan kakek saya. Nenek berdarah Ambon dari desa Amahusu dan menikah dengan kakek saya, seorang Jawa, dari desa Taji di Prambanan, propinsi DI.Yogyakarta.
Nenek saya nama lengkapnya Jacoba da Costa. Da Costa adalah nama keluarganya. Saya ngak pernah mengerti arti da Costa sampai saya ke Lisbon, Portugal, di sana saya mengerti arti da Costa. Da Costa menunjukkan daerah pantai. Nenek saya mewarisi rumah orang tuanya yang terletak di tepi pantai. Di teluk Ambon, di mana lalu lalang kapal memasuki pulau Ambon melewati pantai di depan rumah nenek saya. Saya ingat selalu suka menonton perjalanan kapal keluar masuk teluk Ambon sambil berenang di pantai di depan rumah nenek saya. Ayahanda selalu senang menyopir kami sesudah pulang kantor untuk tidur siang di tepi pantai yang kadang-kadang berpasir, tetapi juga bisa berbatu-batu tergantung pada ombak dan angin yang membentuknya.
Nama nenek, Cootje, yang mengingatkan saya untuk menulis sepotong mengingat apa yang terjadi pada masa lalu. Tidak ada yang tahu apakah nenek saya berdarah Portugis. Di tanah Iberia, ketika saya sedang berkunjung di sana untuk mencari data-data penulisan disertasi saya, saya sadar ada banyak pengaruh dari Lebanon, terutama Islam di sana. Muslim di Iberia dan Andalusia (Spanyol selatan) di sebut Moro. Portugis adalah negara pertama bersama dengan Spanyol yang tiba di nusantara. Ketika mereka tiba di bumi nusantara, terutama di Maluku Utara, mereka segera menyebut masyarakat yang melakukan ritual agama sama seperti yang ditemui di Iberia, dengan sebutan Moro. Istilah ini juga ditemukan di Filipina Selatan.
Nenek saya tinggal di tepi pantai. Keluarganya adalah orang pantai, karenanya diberikan nama Portugis, "da Costa".
Menarik bagi saya merenungkan mengapa ayahanda saya ingin anaknya diberikan nama Cootje. Perempuan cenderung diharapkan untuk merawat keluarga. Cinta kasih yang mengalir dalam diri perempuan dilihat sebagai kodrat untuk setidaknya menjadi penyangga keluarga karena konstruksi dirinya sebagai perawat. Ayahanda seorang yang berpikir maju, karena ternyata selain memberikan nama Cootje, ia tahu bahwa anak perempuannya juga harus mencari ilmu pengetahuan sejati, kemanusiaan dan keilahian.
Itulah saya. Seorang yang mencari pengertian dengan melayani, merawat dan mencintai kemanusiaan.
Hari ini hujan seharian di Yogya. Saya menjemput suami saya yang selama empat hari melakukan retreat sendirian di rumah pusaka Pondok Jati Rasa, di atas tebing laut selatan, Parangtritis. Dalam perjalanan pulang hujan lebat. Saya mengendarai kendaraan pelan-pelan untuk membantu adik saya dengan mobil lain mengikuti saya. Mobil adik saya kebetulan wipersnya rusak. Sambil ngobrol saya yang berjalan pelan-pelan merenungkan tentang etika merawat.
Suami saya berpuasa empat hari tanpa makan kecuali minum air putih. Berpuasa penting untuk suami saya. Merawat keluarga, mendukung suami mencapai perkembangan diri yang terus terbangun merupakan bagian dari dasar etika pemeliharaan. Membagi waktu untuk membangun semangat dari anggota keluarga ketika mereka membutuhkan diri kita adalah tanda dari prinsip merawat. Ketulusan dalam merawat yang dimulai dari keluarga akan mendorong formasi pelayanan yang bermakna mendalam terhadap sesama kita, orang lain yang bersentuhan dengan kerja-kerja kita.
Ketulusan merawat memang bukan hanya ciri khas dari perempuan, tetapi juga lelaki. Saya bersyukur bahwa saya ngak harus hanya menjadi perempuan yang pintar, tetapi juga bisa merawat sesama dengan hati demi pencapaian eksistensi diri masing-masing.
Merawat keluarga sama juga dengan merawat anggota masyarakat. Keprihatinan mereka adalah bagian dari keprihatinan saya, keprihatinan kita.
Karena inilah, saya hendak berbagi hidup untuk mengerti semua hubungan yang sebaiknya bisa terbangun di antara umat manusia. Untuk itulah saya menulis, merefleksikannya dalam kata-kata supaya makin nyata apa yang saya mengerti tentang mengasihi diri sendiri, mengasihi sesamamu manusia.
Setidak itulah yang bisa saya kenangkan dari nenek saya, semangatnya, spirit untuk merawat sudah menjadi daging dalam diri saya.
Ketika saya berkesempatan mengunjungi Serui, di Papua saya mengerti semua cerita nenek tentang Papua ketika ia bercerita kepada cucu-cucu kecilnya sambil berbaring di pantai di depan rumahnya, saya bersyukur masih banyak orang di Serui ingat pelayanan Maxi Sapardi dan Jacoba da Costa di sana.
Terima kasih oma dan opa yang mengalirkan darah peradaban Maluku dan Jawa dalam diri saya, terutama darah petualangan dan komitmen sebagai perawat kemanusiaan di dalam diri saya.
By Farsijana Adeney-Risakotta
Menulis tentang nama nenek yang saya pikul mendorong saya merenungkan tentang makna merawat. Nenek saya seorang perawat. Ia seorang anak tunggal yang mengikuti pendidikan keperawatan di Bandung. Sesudah lulus, ia bekerja di rumah sakit Belanda di Serui Papua. Di sana, nenek Jacoba yang dipanggil dengan nama Cootje, sebagai nama yang diturunkan ke saya, menikah dengan kakek saya. Nenek berdarah Ambon dari desa Amahusu dan menikah dengan kakek saya, seorang Jawa, dari desa Taji di Prambanan, propinsi DI.Yogyakarta.
Nenek saya nama lengkapnya Jacoba da Costa. Da Costa adalah nama keluarganya. Saya ngak pernah mengerti arti da Costa sampai saya ke Lisbon, Portugal, di sana saya mengerti arti da Costa. Da Costa menunjukkan daerah pantai. Nenek saya mewarisi rumah orang tuanya yang terletak di tepi pantai. Di teluk Ambon, di mana lalu lalang kapal memasuki pulau Ambon melewati pantai di depan rumah nenek saya. Saya ingat selalu suka menonton perjalanan kapal keluar masuk teluk Ambon sambil berenang di pantai di depan rumah nenek saya. Ayahanda selalu senang menyopir kami sesudah pulang kantor untuk tidur siang di tepi pantai yang kadang-kadang berpasir, tetapi juga bisa berbatu-batu tergantung pada ombak dan angin yang membentuknya.
Nama nenek, Cootje, yang mengingatkan saya untuk menulis sepotong mengingat apa yang terjadi pada masa lalu. Tidak ada yang tahu apakah nenek saya berdarah Portugis. Di tanah Iberia, ketika saya sedang berkunjung di sana untuk mencari data-data penulisan disertasi saya, saya sadar ada banyak pengaruh dari Lebanon, terutama Islam di sana. Muslim di Iberia dan Andalusia (Spanyol selatan) di sebut Moro. Portugis adalah negara pertama bersama dengan Spanyol yang tiba di nusantara. Ketika mereka tiba di bumi nusantara, terutama di Maluku Utara, mereka segera menyebut masyarakat yang melakukan ritual agama sama seperti yang ditemui di Iberia, dengan sebutan Moro. Istilah ini juga ditemukan di Filipina Selatan.
Nenek saya tinggal di tepi pantai. Keluarganya adalah orang pantai, karenanya diberikan nama Portugis, "da Costa".
Menarik bagi saya merenungkan mengapa ayahanda saya ingin anaknya diberikan nama Cootje. Perempuan cenderung diharapkan untuk merawat keluarga. Cinta kasih yang mengalir dalam diri perempuan dilihat sebagai kodrat untuk setidaknya menjadi penyangga keluarga karena konstruksi dirinya sebagai perawat. Ayahanda seorang yang berpikir maju, karena ternyata selain memberikan nama Cootje, ia tahu bahwa anak perempuannya juga harus mencari ilmu pengetahuan sejati, kemanusiaan dan keilahian.
Itulah saya. Seorang yang mencari pengertian dengan melayani, merawat dan mencintai kemanusiaan.
Hari ini hujan seharian di Yogya. Saya menjemput suami saya yang selama empat hari melakukan retreat sendirian di rumah pusaka Pondok Jati Rasa, di atas tebing laut selatan, Parangtritis. Dalam perjalanan pulang hujan lebat. Saya mengendarai kendaraan pelan-pelan untuk membantu adik saya dengan mobil lain mengikuti saya. Mobil adik saya kebetulan wipersnya rusak. Sambil ngobrol saya yang berjalan pelan-pelan merenungkan tentang etika merawat.
Suami saya berpuasa empat hari tanpa makan kecuali minum air putih. Berpuasa penting untuk suami saya. Merawat keluarga, mendukung suami mencapai perkembangan diri yang terus terbangun merupakan bagian dari dasar etika pemeliharaan. Membagi waktu untuk membangun semangat dari anggota keluarga ketika mereka membutuhkan diri kita adalah tanda dari prinsip merawat. Ketulusan dalam merawat yang dimulai dari keluarga akan mendorong formasi pelayanan yang bermakna mendalam terhadap sesama kita, orang lain yang bersentuhan dengan kerja-kerja kita.
Ketulusan merawat memang bukan hanya ciri khas dari perempuan, tetapi juga lelaki. Saya bersyukur bahwa saya ngak harus hanya menjadi perempuan yang pintar, tetapi juga bisa merawat sesama dengan hati demi pencapaian eksistensi diri masing-masing.
Merawat keluarga sama juga dengan merawat anggota masyarakat. Keprihatinan mereka adalah bagian dari keprihatinan saya, keprihatinan kita.
Karena inilah, saya hendak berbagi hidup untuk mengerti semua hubungan yang sebaiknya bisa terbangun di antara umat manusia. Untuk itulah saya menulis, merefleksikannya dalam kata-kata supaya makin nyata apa yang saya mengerti tentang mengasihi diri sendiri, mengasihi sesamamu manusia.
Setidak itulah yang bisa saya kenangkan dari nenek saya, semangatnya, spirit untuk merawat sudah menjadi daging dalam diri saya.
Ketika saya berkesempatan mengunjungi Serui, di Papua saya mengerti semua cerita nenek tentang Papua ketika ia bercerita kepada cucu-cucu kecilnya sambil berbaring di pantai di depan rumahnya, saya bersyukur masih banyak orang di Serui ingat pelayanan Maxi Sapardi dan Jacoba da Costa di sana.
Terima kasih oma dan opa yang mengalirkan darah peradaban Maluku dan Jawa dalam diri saya, terutama darah petualangan dan komitmen sebagai perawat kemanusiaan di dalam diri saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar