Minggu, 03 April 2011

Ortodoksi ajaran agama: berkat atau kutukan atas kekerasan?

 Catatan:
Ini adalah artikel saya yang dipost di Facebook saya tetapi kemudian saya ketahui lagi sudah dihapuskan oleh seseorang yang saya gak pernah akan tahu. Karena artikel ini, saya ngak bisa lagi mempost artikel lainnya langsung dari laptop saya ke facebook. Keuntungan dari masalah saya di Facebook bisa mendorong saya menjadi seorang blogger, suatu sebutan yang sebelumnya ngak pernah terpikir segera dilakukan. Kadang-kadang dari akibat yang perih dan pedih ada kebaikan untuk masa yang lebih lama.
Semoga tulisan-tulisan saya di blog bisa memberikan kesejukan kepada pembaca, bukan sebaliknya keresahan dan kemarahan. Semoga hanya permenungan yang mendalam terpatri keluar dari diri saya untuk bisa dipertimbangkan dengan hati, jiwa dan akal budi dari pembaca lainnya. Salam. F



             Ortodoksi ajaran agama: berkat atau kutukan atas kekerasan?
                              Oleh Farsijana Adeney-Risakotta*)

Orang beragama sering kali menolak anggapan bahwa
agama terkait dengan emosi. Sembah sujud kepada Allah bukan sekedar emosi, tapi kesungguhan hati.  Manusia memang berbeda-beda dalam mencapai kedalaman hatinya untuk menyentuh rasa kasihan Allah.
Ibuku seorang Pentakosta yang menyentuh kepedulian Allah dengan mengungkapkan isi hatinya dengan cucuran air mata yang menyayatkan hatinya.  Doanya seperti seorang yang sedang ber"zikir"  selama bulan Ramadhan di mesjid Istiqomah dekat rumah kami. Setiap kali saya berada dalam keintiman mereka dengan Allah, saya ingat keintiman diri sendiri dengan Allah.

Keintiman dengan Allah memang membuat manusia dimurnikan kembali termasuk ketika
cara pengungkapan keintiman itu ditolak oleh orang lain.  Misalkan alasan penutupan dan pelarangan gereja-gereja  beribadah karena tidak didukung oleh masyarakat di sekitarnya. Penolakan dukungan ini seringkali didasarkan pada alasan bahwa  cara umatnya bersembayang yang berbeda dengan masyarakat yang mengelilingi tempat ibadah tersebut.  Keintiman mereka berbeda dengan keintiman saya dan menganggu ketentraman diri mereka yang berbeda agama.
Menghadap kepada Allah terkait dengan ketulusan hati.  Umat yang menggunakan keintiman dengan Allah karena alasan-alasan politik, akan berhadapan sendiri dari hasil keintiman itu. Mungkin keintiman mereka menjadi keangguhan yang malahan merupakan sumber petaka untuk hubungan mereka dengan orang lain.  Atau sebaliknya, kalau ketulusan dari keintiman itu dimurnikan oleh Allah, maka walaupun rumah fisik diambil, tapi rumah bathin dipelihara Allah. 
Mas Singgih, seorang aktivis Percik, alumni mahasiswa Santa Dharma, yang pernah tinggal bersama kami di  Pondok Tali Rasa, pernah mengunggapkan kepada saya bahwa ia merasa tidak suci dibandingkan dengan jamaah lain yang bersholat di mesjid Istiqomah. Tapi ia beribadah selalu ke sana setiap sholat Jumat. Hasil dari keintiman dengan Allah bisa memurnikan caranya beribadah dan menjadi lebih bebas sholat tanpa beban aturan yang ketat tentang perbedaan dalam cara beribadah.
 Fenomena mas Singgih, bisa ditemukan pada banyak orang. Mungkin saya juga seperti mas Singgih, bisa bersembayang kepada Allah dimana saja.

Ceritanya menjadi berbeda ketika seseorang meninggal. Perbedaan ritual menjadi alasan dari perbedaan identitas yang diberikan kepada seseorang dalam komitmennya kepada komunitas agama tertentu. Berapa dalam komitmennya akan diterima sebagai balasan dari komitment komunitas kepada dirinya. Perbedaan ritual agama sering kali diikuti dengan perbedaan aliran politik. 
Misalkan penelitian  Clifford Geertz  (1993, 150) tentang penolakan modin untuk memakamkan seorang aktivis muda yang meninggal, menurut saya bukan karena ada perbedaan modernitas dan konservatisme yang nampak dalam  praktek ritual dikalangan Muslim, tetapi terutama karena perbedaan aliran politik yang dianutnya.

Dalam sejarah Kekristenan  perbedaan ritual ibadah punya alasan politis juga.
Tetapi perbedaan alasan politik pertama-tama dimulai dari koreksi terhadap ortodoksi ajaran yang ada.  Refleksi terhadap ortodoksi ajaran sangat tergantung pada komunitas yang menggunakan perbedaan ajaran tersebut untuk menunjukkan kekuasaan terhadap sumber-sumber material dan manusia yang dipengaruhinya.  Ortodoksi Martin Luther diterima oleh gereja-gereja Jerman, diikuti oleh gereja-gereja di Swiss,  Belanda, Perancis, Scotland, Skandinavia terkait ada hubungan dengan alasan-alasan teritori fisik daerah, etnisitas dan kepentingan politik dagang.

Fenomena yang sama juga bisa terlihat dari proses ortodoksi yang diklaim oleh Islam terhadap Kekristenan dan didalam Islam sendiri, diantara berbagai aliran yang ada. Schisma Sunni dan Shiah segera sesudah Nabi Muhammad SAW dipanggil Allah
SWT, juga lebih disebabkan karena perbedaan-perbedaan seperti digambarkan dalam fenomena sejarah kekristenan.

Cara kerja memurnikan agama bisa sangat berbau kekerasan. Ia terlihat berlawanan dengan ajaran-ajaran agama yang dianutnya.  Ortodoksi untuk memurnikan keintiman dengan Allah seharusnya mengubah perilaku manusia ke arah yang lebih manusiawi, yang cinta kehidupan bukan kehancuran.  Tetapi klaim interpretasi manusia atas apa yang diperintahkan Allah kepadanya bisa berbenturan dengan
kepentingannya sendiri.  Ortodoksi membangun cara interpretasi yang membenarkan klaim dan kepentingan sendiri.

*Antropolog, teolog dan aktivis akar rumput tinggal di Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar